Dunia ekonomi sedang bergejolak, dan salah satu kabar paling menarik datang dari kelompok negara BRICS. China, sebagai salah satu anggotanya, baru-baru ini membuat gebrakan yang cukup besar: melepas dolar AS dalam jumlah fantastis. Ya, ini bukan sekadar rumor, Bank-bank di China dilaporkan telah membantu nasabah mereka melepas mata uang asing senilai USD51,8 miliar, atau setara dengan Rp860 triliun! Jumlah ini adalah yang tertinggi sejak tahun 2020. Penasaran kenapa China gencar melakukan BRICS Dedolarisasi ini? Mari kita selami lebih dalam!
BRICS Dedolarisasi: Kenapa China Gencar Tinggalkan Dolar AS?
Fenomena ini bukan terjadi begitu saja, lho. Ada banyak faktor yang melatarbelakangi langkah agresif China dalam mengurangi ketergantungan pada dolar AS. Gerakan BRICS Dedolarisasi ini adalah bagian dari strategi jangka panjang yang lebih besar, baik untuk China maupun negara-negara BRICS lainnya.
Lonjakan Konversi Mata Uang: Optimisme terhadap Yuan China
Salah satu pemicu utamanya adalah lonjakan konversi mata uang yang dilakukan oleh para nasabah bank di China. Nasabah ini beragam, mulai dari importir, eksportir, hingga investor yang menanamkan modal di aset luar negeri. Lonjakan ini, yang tercatat sebagai yang terbesar sejak Desember 2020, sejalan dengan pertumbuhan ekspor China yang cukup kuat.
Perusahaan-perusahaan di China kini menunjukkan optimisme yang tinggi terhadap penguatan yuan, mata uang lokal mereka. Ini bukan tanpa alasan. “Surplus bersih dalam penyelesaian valuta asing menunjukkan adanya peningkatan arus modal masuk ke China yang membantu menopang yuan, sementara konversi oleh eksportir juga meningkat,” jelas Khoon Goh, Kepala Riset Asia di ANZ Bank.
Artinya, semakin banyak uang masuk ke China, dan para eksportir lebih memilih untuk mengonversi hasil penjualan mereka ke yuan. Ini tentu saja memperkuat posisi yuan di kancah global. Anda bisa bayangkan, bagaimana strategi ekonomi global ini memengaruhi kondisi pasar?
Tensi Perdagangan dan Peran Bank Sentral China (PBOC)
Selain faktor ekonomi, ada juga dimensi politik yang turut memengaruhi. Hubungan perdagangan antara China dan AS yang kembali memanas menjadi salah satu pendorong utama. Ketika Presiden AS Donald Trump memberlakukan tarif baru terhadap China, Bank Sentral China (People’s Bank of China/PBOC) tak tinggal diam.
PBOC segera mengambil langkah untuk menjaga nilai referensi harian yuan pada posisi terkuat dalam satu bulan terakhir. Langkah ini menunjukkan keseriusan China dalam melindungi mata uangnya dari gejolak eksternal. Negara-negara anggota BRICS pun bersatu, menunjukkan ketidakpuasan terhadap kebijakan AS dan dominasi dolar. Mereka sepakat untuk mendukung penguatan mata uang lokal, terutama yuan China. Ini adalah bagian dari kebijakan moneter yang lebih luas untuk menciptakan sistem keuangan yang lebih multipolar.
Masa Depan Yuan dan Penguatan Posisi BRICS di Pasar Global
Perkembangan ini jelas memberikan dorongan tambahan bagi kelompok BRICS. Dengan langkah pelepasan dolar AS yang masif ini, posisi yuan di pasar keuangan internasional dipercaya akan semakin kuat. Ketegangan perdagangan yang terus meningkat diperkirakan akan mendorong lebih banyak eksportir domestik untuk melakukan konversi valuta asing ke yuan, demi menjaga stabilitas mata uang mereka.
Lantas, apa dampaknya bagi kita? Ini berarti kita mungkin akan melihat perubahan signifikan dalam dinamika ekonomi global di masa depan. Gerakan BRICS Dedolarisasi ini bukan hanya tentang China, tetapi juga tentang upaya kolektif negara-negara berkembang untuk mengurangi ketergantungan pada satu mata uang dominan.
Singkatnya, aksi jual dolar AS oleh China ini adalah cerminan dari ambisi besar China untuk menginternasionalisasi yuan dan bagian dari gerakan BRICS Dedolarisasi yang lebih luas. Ini adalah langkah berani yang bisa mengubah lanskap ekonomi dunia. Menarik, bukan?
